Susah nggak sih untuk punya idealisme di zaman sekarang?
Aku ngerasainnya susah. Selama 2 tahun belakangan, aku sibuk mencari tau apa yang sebenernya aku

mau. Trus sekarang lagi sibuk berusaha mengatasi hasil eksperimen 2 tahun itu, bokek. (Lho koq curhat..) Singkat cerita, baru setelah ndengerin Pak Wardjono cerita lah aku baru ngeh bahwa selama ini aku nggak punya idealisme, aku hanya mengejar yang aku suka aja. Oh tunggu, boleh nggak itu aja jadi idealismeku? #plak
Cerita Pak Wardjono sih sederhana. Beliau satu pemikiran dengan Demski dan Fellingham bahwa akuntansi sebagai suatu disiplin itu embarassing (meminjam istilah Demski).
Kenapa memalukan? Sebab kampus hanya mengajarkan praktik. Kita mengajarkan prinsip, metode, bahkan istilah yang digunakan praktik. Kalau dalam akuntansi keuangan, kita hanya mengajarkan hal-hal yang tergambar dalam US GAAP atau IFRS. Dengan kata lain, kampus yang seharusnya menjadi pusat perubahan justru menjadi kepanjangan tangan penguasa standar.
“Oh iya, bener juga,” pikirku. Yang mengherankan bahwa dengan argumen sekuat itu, nyatanya pengajaran akuntansi masih seperti itu. Kenapa orang-orang gak berubah? Pak Wardjono bilang penjelasannya itu bisa banyak hal. Kemudian aku berspekulasi bahwa mungkin karena kebanyakan orang nggak tau isu itu. Mungkin orang-orang yang punya idealisme perlu lebih banyak menyebarluaskan idealismenya itu. Yang nggak ngenakin, Pak Wardjono kemudian merespon dengan semestinya sekarang generasi yang muda lah yang banyak berusaha mengembangkan idealisme itu. Iya juga sih..
Eh tapi kan aku nggak punya idealisme tertentu? Ya itu bisa diatasi kali yah. Untuk
awal ini, aku mau nyontek kata Paul Arden soal authentic stealing.

Steal from anywhere that resonates with inspiration or fuels your imagination.
Devour films, music, books, paintings, poems, photographs, conversations, dreams, trees, architecture, street signs, clouds, light and shadows.
Select only things from that speak directly to your soul. If you do this, your work (and
theft) will be authentic.
Authenticity is invaluable.
Originality is non-existent.
Don’t bother concealing your thievery – celebrate it if you feel like it.
Remember what Jean-Luc Godard said: “It’s not where you take things from. It’s where you take them to.”
Oke, soal idealisme aku bisa ikut dulu idealisme orang lain yang aku senangi. Masalah selesai. Ya kan? Uhm, nggak gitu juga sih. Satu masalah mendasar yang juga Pak Wardjono ceritakan kemaren adalah susahnya mengembangkan idealisme di akuntansi. Ini nggak heran sih, akuntansi sebagai ilmu yang mapan telah punya akar yang kuat di sejumlah aspek. Prinsip kita begitu kuat untuk sejumlah hal. Masalahnya adalah seiring dengan berjalannya waktu, hal-hal tadi mungkin sudah daluwarsa atau mungkin masih relevan tapi punya banyak potensi pengembangan. Nah, siapa yang mau ikut mengubah? Siapa yang mau ikut mengembangkan?
Bila pengubahan atau pengembangannya bersifat lebih canggih atau maju (advance) maka mestilah banyak orang yang mau ikut. Sustaining innovation macam ini berarti lebih hebat, lebih maju di hal-hal yang biasa kita lakukan. Misalnya sebagai akuntan kita biasa mengolah angka, ketika pengolahan angka itu meluas ke 1000 akun maka kita akan dengan senang hati melakukannya. Memang betul pengolahan itu lebih kompleks, membutuhkan tingkat kemampuan yang tidak biasa kita lakukan. Namun ya itu tetap saja itu pengolahan angka, hal yang sudah kita akrabi sejak lama. Coba bayangkan kalau kita yang biasa mengolah angka secara dingin ini, tiba-tiba harus memperkenalkannya dalam bentuk sebuah cerita (storytelling)? Bayangkan kalau kita yang terbiasa berpikir logis ini tiba-tiba harus berpikir kritis dan inovatif? Mencoba cara penelitian yang relatif baru, isu yang belum pernah dijamah, dsb. Tentu saja jalan itu sulit… dan sepi.
Itulah mengapa, kata Pak Wardjono, beliau selalu bersedia membaca dan memberi kritik pada karya-karya baru. Menurut beliau kritik itu penting untuk pengembangan suatu karya agar bisa menjadi lebih baik. Yah, kita boleh setuju atau tidak setuju dengan pendapat beliau. Namun satu hal yang penting di sini, jaringan pendukung idealisme itu penting, bahkan kadang tidak kalah penting dari idealisme itu sendiri. Nah, mengapa kita tidak mencoba menjadi bagian darinya?
“I daresay the moment will present itself in due course,” – Dumbledore, buku Harry Potter 7. Ya tentu gak mungkin lah kalau kita harus mendukung semua hal terkait pengembangan akuntansi. Kalau kalian tanya, aku juga nggak tau mau mendukung dengan cara apa. Namun minimal, sekarang kita mau mempertimbangkannya agar nanti kita akan tau ketika saatnya tiba. Soal ini, mungkin kita bisa nyontek Paul Arden dan mengubahnya menjadi authentic support. Ketika kita merasa klop dengan suatu usaha atau karya inovatif atau pengembangan, saat itulah kita bisa mendukungnya.
Kembali ke awal masuk MSi, aku merasa sangat senang di sini. Aku luar biasa kagum dengan Pak Zaki, Pak Wardjono, Pak Jogi, Pak Hani, Pak Indra Wijaya. Di sisi lain, mungkin saja ada orang yang sama pandainya dengan beliau-beliau itu, sama hebatnya, atau minimal punya potensi untuk sepandai dan sehebat itu (e.g. dosen/eksekutif muda). Namun, mengapa kita kagum pada orang-orang tertentu saja? Ketika ini kuceritakan sama Nelly, dia secara sederhana menjawab… “mereka itu orang-orang yang berkarakter.” Begitulah orang yang punya idealisme.
———————————-
Disclaimer: Seperti mungkin sudah kalian tebak, seluruh tulisan ini mencontek pemikiran Pak Wardjono yang beliau sampaikan tempo hari. Aku nggak (dan gak mau) bertanggung jawab atas segala jenis idealisme di dalamnya. :p
//