Ceritanya, aku lagi baca buku Howard Gardner, 5 Minds for the Future (2008).

Gardner bilang ada 5 minds atau perspektif yang perlu dikuasai tiap orang di masa depan atau, buat yang tertarik hal-hal baru, asik juga buat dipelajari sekarang. Lima perspektif itu adalah disiplin ilmu, sintesa, kreasi, respek, dan etika.
Hal yang pertama banget perlu dikuasai adalah disiplin ilmu. Tanpa dasar disiplin ilmu yang baik, sintesa ataupun kreasi/karya kita jadi kurang bernilai. Oya, ini cocok sih sama penjelasan Ken Robinson kemaren yaitu biar berguna, kreatif itu perlu value. Nah, value ini bisa diperoleh kalau kita menguasai disiplin ilmu dengan baik. Facebook yang sepertinya sederhana itu dibuat dengan penguasaan disiplin ilmu yang oke banget. Walaupun Mark Zuckerberg masih muda waktu bikin Facebook tapi saat itu dia udah pengalaman bikin program selama 10 tahunan lebih.
Menurut Gardner, paling enggak kita perlu menguasai 1 disiplin ilmu lah, entah itu ilmu akademik ataupun ilmu praktik. Trus kupikir kan jelek-jeleknya paling enggak aku sudah menguasai 1 lah ya, akuntansi. Eh begitu masuk ke bab disiplin ilmu, A Disciplined Mind, koq ya ternyata yang dimaksud Gardner dengan disiplin ilmu itu berbeda dengan yang kukira cuma pengetahuan dan kuliah akuntansi yang ada.
Gardner membedakan antara subject matter sama disiplin ilmu (a discipline). Eh bentar dulu, a discipline ini kuterjemahin ‘disiplin ilmu’ dan bukannya ‘disiplin’ aja supaya nggak pada keliru dengan disiplin yang ada di baris-berbaris dan di sekolahan. Oke ya? 😀 Subject matter ini adalah materi (matter) yang disajikan dalam rangka diskusi, pemikiran, dan studi. Sementara itu,
A discipline constitutes a distinctive way of thinking about the world. (Gardner 2008: p.27)
Disiplin ilmu terdiri dari suatu cara berpikir khusus dalam memandang dunia. Mulai agak keliatan ya bedanya di sini? Kalau subject matter itu bahan mentah, sementara disiplin ilmu kayaknya lebih ke hasil belajarnya. Belajar yang baik membuat kita menguasai cara pandang khusus ilmu tersebut. Misalnya fisika deh, semua orang bisa memperoleh materi fisika yang baik, apalagi di zaman internet ini. Namun apakah semua orang mampu memiliki/menguasai cara pandang para fisikawan dalam melihat dunia?
Secara khusus, Gardner menyebutkan (Gardner 2008: p.27) bahwa kebanyakan kita diajari/mempelajari subject matter aja, dengan sebagian besar tugasnya menghafal begitu banyak fakta, rumus, dan angka. Dalam sains, kita mengingat definisi istilah penting, rumus akselerasi, jumlah planet, berat atom, otot dan syaraf wajah. Di matematika, kita mengingat rumus aljabar dan bukti geometrik. (Ini bahkan aku gak kebayang wujudnya.. -__- ). Trus kalo belajar sejarah, kita ngingat nama dan tanggal peristiwa serta era penting. Di sekolah bisnis atau fakultas bisnis dan ekonomi, kita ngisi spreadsheet (Excel) dan belajar menggunakan terminologi canggih di penjualan dan keuangan. Lha, bukannya emang gitu ya yang bener?
Enggak sih, kalau buat di masa depan, gitu kata Gardner. Dia ngasi 3 contoh disiplin ilmu (kuterjemahin dari Gardner 2008: p.27-28):
- Sains – Scientists (ilmuan sains) mengobservasi dunia; mengajukan klasifikasi, konsep, dan teori tentatif; mendesain eksperimen untuk menguji teori tentatif tersebut; merevisi teori berdasar temuan dan pemahaman yang baru; dan kemudian, setelah memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik, mengobservasi lagi secara lebih mendalam, membuat ulang klasifikasi, dan mendesain eksperimen lanjutan.
- Sejarah – Sejarawan berusaha mereka ulang masa lalu berdasar pecahan-pecahan informasi yang tersebar dan sering berlawanan satu sama lain. Informasi ini sebagian besar berbentuk tulisan, namun kadang ada kalanya berupa grafik, film, atau testimoni lisan. Berbeda dengan sains, sejarah hanya terjadi 1 kali sehingga nggak bisa dibikin eksperimen ataupun uji hipotesis. Alhasil menulis sejarah sebenarnya merupakan suatu tindakan imaginatif. Di sini, sejarawan harus mampu menempatkan dirinya di situasi yang jauh, baik dalam tempat dan waktu, dan dengan demikian bisa memahami perspektif dan posisi/kondisi partisipan. Tiap generasi akan dan perlu menulis ulang sejarah, dalam rangka menyesuaikan dengan kebutuhan teranyar, pemahaman, dan ketersediaan data. (Btw, kupikir yang dimaksud kebutuhan teranyar tuh misalnya kita pengen tahu sejarah Majapahit dilihat dari demokrasi beragamanya, misalnya apakah zaman itu sudah ada demokrasi dalam beragama. Lha ini kan berarti kita mesti cari tau ulang. Jadi maksudnya bukan terus merekayasa fakta sejarah, seperti yang biasanya terpikir oleh kita kalau ada orang bilang “sesuai kebutuhan”).
- Sastra – Pembelajar sastra mempelajari teks tertulis yang sering hanya punya hubungan kontingen dengan waktu dan peristiwa yang berusaha digambarkan teks tersebut. Misalnya, sebagai seorang penulis drama, George Bernard Shaw bisa saja menulis secara hampir serupa tentang masanya sendiri, era Joan of Arc, mitos masa lalu, atau masa depan khayalan. Di sini, pembelajar sastra mesti menggunakan alat-alat mereka, utamanya adalah imaginasi mereka sendiri, untuk masuk ke dalam dunia kata-kata yang diciptakan seorang pengarang/author (seperti Shaw) dengan tujuan mengungkap makna tertentu dan memperoleh dampak tertentu bagi pembaca. Sejarawan berbeda dalam teori masa lalu yang digunakan, baik secara eksplisit maupun implisit. Misalnya Great Man Theory (i.e., bahwa sejarah disebabkan oleh satu tokoh besar) versus teori pengaruh faktor demografik, ekonomi, dan geografi. Nah pembelajar sastra juga gitu, mereka berbeda dalam perhatian relatif yang mereka curahkan untuk mempelajari biografi pengarang, niatan aestetikanya, genre literatur yang digunakan, masa historis saat pengarang hidup, dan era historis atau mitos saat protagonis cerita hidup. (Oya, kalau pembelajar sastra ini emang iya kayak gini lho. Temenku yang kuliah di Sastra Korea UGM nulis skripsi soal satu cerita pendek yang dibuat tahun 1930-an. Dia sampai belajar eksistensialisme dan sejarah masa itu segala demi memahami makna dan tujuan/dampak pada pembaca cerpen itu).
Seru ya? Kupikir belajar apapun itu ya sama aja cara pikirnya, eh ternyata beda banget. Sejarah sih terutama yang agak kaget, koq ternyata pake imaginasi juga? Namun kalo dipikir-pikir ya emang lah, kan nggak tau persis kejadiannya. Alhasil ya sedikit-banyak mesti “ngarang”.
Trus yang membuatku penasaran sekarang adalah, disiplin ilmu akuntansi tuh gimana sih?
bagus kok infonya. cuman kurang dapat pointnya kalau menurut saya
SukaSuka
bikin informasi yang lebih bermutu yaa………………………………………………………
SukaSuka