Tanda Tangan

Ceritanya, tidak beberapa lama yang lalu, aku berada dalam suatu kondisi yang membuatku introspeksi diri, tepatnya introspeksi tanda tanganku. Iya tanda tangan, coretan yang kita buat untuk identitas diri itu lho. Apa introspeksiku? Jadi kupikir-pikir kan, meskipun dibuat waktu culun masih SMA, untung tanda tanganku ini bagus lho.*lho ini introspeksi atau narsis*

Eh, emang kenapa kalau jelek? Kan gakpapa juga jelek, toh bikinnya aja pas waktu buat KTP pertama alias ultah ke-17. Muda banget kan itu? Kalau jadinya jelek ya mesti dimaklumi dong?

IMG-20140413-00862
tanda tangan

Iya sih maklum soal kenapa jeleknya. Namun, kalau kita liat dari sisi pragmatis, yang menjadi masalah dengan tanda tangan ini adalah betapa sulitnya mengganti ke yang baru. Bayangin aja, sekarang kalau mau ganti tanda tangan itu perlu ganti KTP, SIM, buku tabungan, ijasah, dan lain sebagainya yang aku nggak tau. Repot kan? Alhasil kebanyakan kita stuck, berhenti dan terpaksa bertahan dengan versi tanda tangan awal yang kita buat sewaktu masih cupu. Ini kan “pemaksaan” secara sistemik namanya?

Repotnya lagi, tanda tangan ini berfungsi untuk mengautorisasi berbagai macam hal itu. Mulai dari autorisasi pembayaran (e.g. tanda bukti bayar via kartu debit) sampai dengan autorisasi surat-surat penting kayak sertifikat, buku nikah, kontrak, dsb. Singkat cerita, tanda tangan ini sangat penting dan kita gunakan di berbagai aspek kehidupan kita.

Kebayang nggak sih, kalau hal yang kita buat sewaktu masih muda dan cupu itu secara sistemik “dipaksakan” untuk kita gunakan sampai tua? Bukan cuma itu, hal tersebut juga bakal kita gunakan di nyaris segala aspek kehidupan kita? Ini tadi mengapa kenarsisanku eh introspeksiku relevan. Untung tanda tanganku itu bagus kan? Kalau jelek kan bagaikan jatuh tertimpa durian, sudahlah susah menggantinya eh koq ya si tanda tangan harus tampil di berbagai kejadian pula.

Itu tuh baru tanda tangan, hal yang jelas tampak dan simpel lho. Apalagi dengan hal yang abstrak dan kompleks kan? Di ilmu psikologi anak, misalnya, sering cerita bahwa cara anak memandang dunia itu sangat bergantung pada interaksi awal mereka dengan orang tua. Anak-anak yang orang tuanya oke (bisa merawat dan menyanyangi anak dengan baik) biasanya tumbuh dengan rasa percaya pada dunia (e.g. lingkungan dan orang-orang yang ia temui). Sisi ekstrim sebaliknya, anak-anak yang tumbuh dengan orang tua abusive kemudian cenderung takut dan/atau minder pada dunia. Kasian kan?

Repotnya lagi, masalah dalam sejumlah hal yang abstrak dan kompleks ini cenderung tidak terdeteksi dan/atau terjadi pembiaran besar-besaran, entah karena malas, sungkan, ataupun ‘ya udah biasanya begini koq.’ Seperti halnya tanda tangan, banyak hal tersebut kemudian seolah-olah mengalami stuck sistematis karena jarang dibicarakan, sinisme tertentu, tekanan sosial untuk mengikuti hal yang menurut masyarakat ideal, tidak ada yang mau mulai mengubahnya, dsb. Lagian jujur aja deh, seberapa sering sih kita memikirkan dan introspeksi atas hal-hal yang telah kita bawa sejak lama? Ini kemudian menjadikan faktor untung-untungan berperan besar di sini. Dalam contoh psikologi anak tadi misalnya ya untung orang tuanya oke, kalau abusive? Kan tiwas anaknya sudah takut dan/atau minder pada dunia meskipun ternyata orang-orang yang ia temui saat dewasa adalah orang-orang baik (i.e. tidak seperti orang tuanya).

Duh, koq perasaanku jadi nggak enak. Hal-hal yang abstrak dan kompleks kan banyak. Ada soal mental-psikologis, ada rerangka pikir (mindset), ada prasangka (prejudice) yang mungkin kita pelajari sejak kecil, ada ilmu pengetahuan yang nggak pernah kita cek kebenarannya. Jangan-jangan bukan cuma tanda tanganku aja… 😐

Diterbitkan oleh arierahayu

Cerita soal akuntansi

Bagaimana menurut anda?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: