Akrual total sekarang merupakan hal lumrah di literatur managemen laba. Hampir semua penelitian managemen laba menggunakan model berbasis akrual total. Namun, dulu nggak gitu lho.
Waktu Jennifer Jones menyusun papernya “Earnings Management During Import Relief Investigation”, yang kemudian terbit tahun 1991, akrual total justru nggak banyak digunakan. Pada saat itu, penelitian lebih banyak menggunakan perubahan metode akuntansi (e.g. LIFO ke FIFO) dan akrual singel (e.g. cadangan piutang tak tertagih) sebagai indikasi terjadi atau tidak terjadinya managemen laba.
Lantas mengapa Jones menggunakan akrual total?
Ini gara-gara niatan penelitian Jones. Dia ingin meneliti apakah perusahaan yang diuntungkan oleh pembatasan impor akan memanipulasi labanya.
Waktu itu, International Trade Commission (ITC) Amerika Serikat ingin cari tau apakah perlu membatasi impor ke negerinya. Kalau memang perlu, ITC bisa meningkatkan tarif atau menurunkan kuota impor sehingga nilai impor ke Amerika berkurang. Hal ini tentu menguntungkan produsen barang dalam negeri Amerika sebab pesaing mereka berkurang dan harga barang akan lebih menguntungkan (konsep permintaan dan penawaran). Tentu adalah wajar bila produsen dalam negeri menginginkan adanya pembatasan impor.
Bagaimana caranya?
Salah satu kriteria ITC untuk membatasi impor adalah profitabilitas industri. Bila laba industri jelek atau menurun karena impor maka ITC mungkin akan mempertimbangkan pembatasan impor. Di sini, perusahaan dalam industri tersebut tentu sedikit-banyak terdorong untuk menurunkan labanya atau lebih tepatnya mendeflasi laba mereka (mendeflasi: menurunkan laba secara semu) agar bisa memperoleh pembatasan impor.
Oleh sebab itu, Jones ingin melihat apakah perusahaan yang diuntungkan oleh adanya pembatasan impor melakukan pendeflasian laba.
Bila kamu manager salah satu perusahaan tersebut, cara mendeflasi laba apa yang mungkin kamu pakai? Berhubung ITC menggunakan angka laba sebelum pajak maka manager bisa memanfaatkan segala jenis akrual untuk mendeflasi laba mereka. Bisa menggunakan akrual gaji, cadangan piutang tak tertagih, bonus managemen, dan sebagainya. Semua bakal ada dampaknya ke laba.
Makanya, Jones menggunakan akrual total.
Caranya gimana? Kan kita nggak tau jelasnya akrual apa yang dimanipulasi untuk mendeflasi laba? Di sinilah asiknya model yang kemudian bakal terkenal dengan nama Model Jones ini…
Jones mengajak kita melihat pola akrual perusahaan-perusahaan tersebut.
Asumsinya, manager dan perusahaan kan nggak setiap saat juga memanipulasi laba. Soalnya managemen laba kan perlu usaha (effort) juga yah. Lagian kalau nggak ada untungnya trus buat apa? Oleh karenanya, kebanyakan laporan keuangan itu sebenarnya tidak dimanipulasi alias normal. Hanya dalam kondisi tertentu aja perusahaan melakukan managemen laba. Lagi pengen pembatasan impor misalnya. Logikanya, ini berakibat pada berubahnya pola akrual saat perusahaan terdorong untuk memanipulasi laba. Perubahan pola inilah yang hendak dilihat Jones. Bagaimana caranya?
Jones mengestimasi akrual normal, yang ia sebut nondiskresioner, dengan mengembangkan suatu model spesifik-perusahaan. Model ini mempertimbangkan terjadinya perubahan akrual akibat adanya perubahan kondisi perekonomian. Misalnya, bila perekonomian bagus maka penjualan cenderung naik dan, konsekuensinya, piutang penjualan akan cenderung naik juga. Itu kenapa kita melihat variabel pendapatan, piutang, dan aset tetap di dalamnya, sebab mereka juga mencerminkan perubahaan perekonomian. Model inilah yang kemudian kita kenal sebagai Model Jones.
Menarik ya ceritanya? Lanjutannya bisa kalian baca di paper Jennifer J. Jones (1991), “Earnings Management during Import Relief Investigation.”
wah bagus banget pembahasan nya, bahasa nya enak jadi gampang paham, terimakasih ya:D
kebetulan skripsi saya ada sangkut paut nya sama audit dan akrual diskresioner model jones, jadi dapet insight.
SukaSuka